MONTANI PARA LIBERI

MONTANI PARA LIBERI

For the Mountaineers............!!!

"Mountain are cathedrals: grand and pure, the houses of my religion. I go to them as humans go to worship. From their lofty summits, I view my past, dream of the future, and with unusual acuity I am allowed to experience the present moment. My strength renewed, my vision cleared, in the mountains I celebrate creation. On each journey I am reborn." (ANATOLI BOUKREEV @ Above the Clouds)

Monday 13 September 2010

KETIKA BENCANA MELANDA

Semenjak Tanah Rencong Nanggroe Aceh Darussalam dilanda gempa bumi yang menimbulkan tsunami tanggal 26 Desember 2004 silam, sudah banyak bencana alam beruntun yang meluluh lantakkan Nusantara tercinta. Dan yang paling baru salah satunya adalah gempa yang menghoyak Ranah Minang tanggal 6 Maret 2007 lalu. Gempa yang sampai hari ini masih menyisakan banyak luka dan derita, serta setumpuk persoalan yang tak kunjung terselesaikan.

Hampir serupa seperti kejadian bencana yang lainnya, di minggu-minggu pertama hingga sekitar sebulan paska kejadian. Begitu banyak orang dari berbagai macam lembaga entah itu politik atau non politik, pemerintah atau non pemerintah, berduyun-duyun datang mengunjungi lokasi bencana walaupun terkadang hanya sekedar membawa sekardus indomie dan diiringi oleh sekelompok jurnalis cetak atau elektronik, yang kemudian akan membuat ekspose sedemikian rupa keruang-ruang publik di seantero negeri.

Begitu banyak janji-janji diobral untuk melipur lara masyarakat korban bencana yang notabene berharap akan dibantu. Tapi tak semua wisatawan bencana ini benar-benar menindak lanjuti janjinya tersebut. Hal ini kebanyakan disebabkan karena ketika mereka datang ke lokasi-lokasi bencana hanya demi kepentingan pamor semata. Entah itu pamor pribadi, perusahaan, instansi, organisasi dan partai. Sementara para korban terpaksa bertahan hidup dengan sejuta harapan utopis yang kadung beredar dari mulut juru bicara wisatawan bencana itu tadi.

Mungkin ada beberapa lembaga yang benar-benar bekerja setelah terlebih dahulu melakukan investigasi dilapangan atau yang lebih sering disebut dengan assessment. Dan mayoritas lembaga yang bekerja cepat dan terstruktur jelas ini berasal dari lembaga swadaya masyarakat atau NGO (non governmental organization) baik itu berskala nasional maupun internasional.

Ada yang menggelitik dan menusuk perasaan paling dalam ketika menyaksikan kepedihan dan derita para korban bencana gempa tersebut. Di satu sisi mereka berusaha untuk mempercayai janji-janji semu yang telah diterima, tapi disisi lain berkat informasi yang semakin lancar mereka selalu bertanya kapan janji tersebut akan terealisasi dikampung, nagari mereka. Sembari berkisah mengenai parasaian mereka sesudah gempa melanda, tak lupa pula mereka mengkritisi pemerintah yang dinilai tak peduli terhadap nasib rakyatnya yang tengah marasai.

Terngiang-ngiang ditelinga tentang sebuah dictum politik yang sering diulang-ulang seorang kawan aktifis pergerakan mahasiswa sembilan tahun silam. “Ketika pemerintah kuat maka rakyat akan lemah , sebaliknya ketika pemerintah lemah maka rakyat akan kuat”. Apakah dictum ini bisa diuji di zaman penuh bencana sekarang ??? Wallahualam, saya tak pernah berminat untuk mengujinya karena saya bukan akademisi ataupun peneliti dari lembaga ilmiah tertentu.

Saya bahkan tak begitu yakin apakah penanganan bencana membutuhkan dimensi politik dan orang-orang yang berpolitik dalam menanggulangi bencana. Dalam pemahaman sempit ruang otak saya, yang terbiasa memerintah saya melanglang buana kesana-kemari untuk membantu korban bencana semampu yang saya bisa sebagai rakyat biasa, bahwa yang dibutuhkan segera para pengungsi korban bencana itu biasanya adalah pengobatan gawat darurat, obat-obatan, makanan dan minuman terutama yang cepat saji, pakaian, selimut, shelter sementara entah itu berupa terpal plastik seadanya atau tenda berframe alumunium mahal buatan luar negeri, air bersih dan sanitasi pada tahap emergency.

Berikutnya adalah post disaster trauma counseling (penyuluhan trauma paska bencana) perbaikan rumah tinggal, perbaikan nafkah atau perekonomian, perbaikan fasilitas publik seperti sekolah, tempat ibadah, balai pertemuan pada tahap reconstruction and recovery. Mereka sama sekali tak butuh jargon-jargon politik dan partai-partai politik , apalagi orang-orang atau institusi yang menjadikan penanganan bencana sebagai komoditas politik. Sama sekali tak butuh !!!

Tapi aneh bin ajaib, sepengetahuan saya selama berada di lokasi pengungsian bencana di berbagai tempat berbeda. Selalu saja politik dan manusia-manusia politik bermain cantik mengambil keuntungan ganda dari penanganan bencana. Lalu sampai kapan negara dan bangsa ini akan memetik pelajaran berharga dari deritanya sendiri ???

Apakah kita akan menyerah pada kenyataan bahwa rakyat kita adalah rakyat yang lemah, karena demi beberapa bungkus mie dan beberapa kilogram beras, mereka sanggup saling baku hantam dengan sesamanya atau terkadang menjarahi dengan beringas barang bantuan yang tidak diperuntukkan buat mereka.

Apakah kita akan menyerah pada kenyataan bahwa terkadang pemerintah kita adalah pemerintah yang lemah, karena tak mampu mengurusi nasib rakyat sendiri yang terlunta-lunta di bawah tenda-tenda darurat. Beruntung bisa tertutupi oleh kesigapan lembaga-lembaga internasional yang terkadang juga tidak tulus dalam memberikan bantuan alias membawa agenda terselubung yang kita tidak pernah tahu maksud dan tujuan sebenarnya.

“PATRIA ES HUMANIDAD” tulis seorang pengarang pada halaman muka sebuah novel yang mengisahkan perjuangan seorang dokter petualang di sebuah negara miskin di Amerika Selatan. Artinya kurang lebih adalah “satu-satunya kebangsaan adalah kemanusiaan”. Mungkin tafsiran sederhana dari kalimat ini adalah bahwa orang tidak memandang perbedaan agama, ras, kebangsaan dan keyakinan politik untuk melakukan tindakan kemanusiaan. Menolong manusia-manusia yang sedang membutuhkan uluran tangan saudaranya, manusia lain yang lebih mampu. Tapi apakah adagium ini berlaku juga bagi manusia-manusia atau institusi-institusi yang datang dengan topeng-topeng politik???

Saya tidak ingin membuat tuduhan sepihak, namun kenyataan-kenyataan yang terjadi dilapangan sudah cukup membuat saya mafhum akan jawabnya.
Jangankan untuk melakukan tindakan kemanusiaan bagi manusia lain yang berbeda kebangsaannya, untuk bangsa sendiripun hingga hari ini kita, termasuk saya juga barangkali, tak pernah benar-benar tulus dan becus dalam memberi bantuan.
Lalu bagaimanakah dengan anda sekalian, wahai saudara-saudara yang mengaku sebangsa dan setanah air???

Di pinggang sebuah gunung, dipagi hari tujuh belas Agustus yang lalu, ketika merah putih melambai-lambai di tengah parade perayaan kemerdekaan negeri ini, ketika ratusan pemuda petualang dan pengembara sahabat saya mengibarkan bendera merah putih raksasa berukuran tujuh belas kali delapan meter di puncak gunung itu.

Ketika ratusan keluarga korban gempa bumi bulan Maret lalu juga merayakan kemerdekaan sembari terus memendam tanya “Kapan bantuan perbaikan rumah dari pemerintah akan segera tiba?”. Saya sempat tercenung, bertanya-tanya sendiri dalam hati dan jikalau boleh saya juga ingin menanyakannya kepada saudara-saudara sebangsa setanah air yang lainnya melalui tulisan ini.

"Masihkah kita menjadi manusia yang punya rasa kemanusiaan?" Ketika kita tergolek nyenyak dirumah kita masing-masing yang nyaman, ternyata masih banyak manusia lainnya yang tinggal digubuk-gubuk sementara seadanya, berbalut panas menyengat disiang hari dan berselubung dingin menggigit ketika malam menjelang.

"Masihkah kita menjadi bangsa yang punya kebangsaan?" Ketika bule-bule berambut jagung, bermata biru, berseliweran keluar masuk kampung menangani pengungsi korban bencana, sementara kita berleha-leha di café-café, mall-mall megah berpendingin udara sambil menyantap makanan siap saji gaya Amerika.

PATRIA ES HUMANIDAD, satu-satunya kebangsaan adalah kemanusiaan, lalu bagaimana dengan manusia yang hanya bisa bicara saja ketika bencana melanda negerinya, apakah ia punya kebangsaan? dan bagaimana nasib bangsa yang dipimpin oleh manusia yang hanya bisa bicara saja ketika bencana melanda negerinya? apakah pemimpin bangsa itu punya kemanusiaan dalam dirinya? Masihkah kita sebuah bangsa yang berkemanusiaan? Masihkah kita manusia yang berkebangsaan ?

=============================================

Ditulis pada dini hari tanggal 12 September 2007, ketika pada pukul 18.10 WIB gempa berkekuatan 7,9 SR kembali memporak-porandakan Bengkulu dan Sumatera Barat.

No comments: