MONTANI PARA LIBERI

MONTANI PARA LIBERI

For the Mountaineers............!!!

"Mountain are cathedrals: grand and pure, the houses of my religion. I go to them as humans go to worship. From their lofty summits, I view my past, dream of the future, and with unusual acuity I am allowed to experience the present moment. My strength renewed, my vision cleared, in the mountains I celebrate creation. On each journey I am reborn." (ANATOLI BOUKREEV @ Above the Clouds)

Monday 30 August 2010

Jangankan keringatku, Darahku pun kurelakan
Demi rasa bangga dan baktiku
INDONESIA.............................!!!

Kan kubuktikan padamu
Kan kutunjukkan padamu
Rasa bangga dan baktiku
INDONESIA....................!!!

Laki-laki berseragam loreng gurun itu, mengulang-ulang perlahan bait-bait lagu gubahan seorang senior di klub pendaki gunungnya. Lagu itu ia jadikan pemacu semangat untuk menyelesaikan long march siang malam sejauh lebih kurang lima ratus kilo meter yg sedang ia tempuh bersama dua puluh orang terpilih lainnya di gurun pasir Gobi, Mongolia.

Panas menyengat di siang hari, dingin menggigit tulang kala malam tiba amat menyiksa ke dua puluh orang yg sedang mengikuti pendidikan unit khusus "Eagle Detachment" tersebut. Termasuk lelaki yg biasa dipanggil Ray, bernama lengkap Rayhan Kelana sebagai nama yg diberikan Ayahnya ketika lahir pada tgl 07 Maret, dua puluh tujuh tahun yg lalu.

Senapan Colt M-4 lengkap dengan pelontar granat ia cekal erat-erat dengan kedua belah tangan. Ransel tempur disain khusus Karrimor berisi perlengkapan pribadinya terasa makin berat, karena sudah tiga hari tiga malam ia berjalan melintasi gurun yg kadang disapu badai pasir. Sepatu boot tempur Altbergnya sesekali terbenam dalam di lintasan pasir. Tapi itu semua tak mematahkan semangatnya yg membara untuk menyelesaikan long march yg berbahaya ini.

Jangankan keringatku, Darahku pun kurelakan
Demi rasa bangga dan baktiku
INDONESIA............................!!!

Ray duduk termenung di kamarnya, ia menatap lurus dinding kamarnya yg berwarna biru. Sudah berlembar-lembar halaman buku harian ditulisnya, dicurahkan segala gundah hatinya atas jawaban Ayahnya kemarin. Tapi gundah itu masih belum juga hilang. Tiba-tiba Ibunya masuk kamar tanpa mengetuk pintu yg tak terkunci. "Kamu sudah makan nak ?" tanya Ibunya penuh kasih sayang. Ray hanya menggeleng tanpa berucap sepatah katapun. "Makanlah dahulu, tak usah kamu pikirkan soal Ayahmu" sambung Ibunya lagi.
"Saya ingin melanjutkan kuliah di tanah Jawa Yah, di Bandung" Ray berkata dengan tegas tanpa ragu-ragu. "Saya mohon ayah mengizinkan............" ujar Ray lagi tanpa menunggu jawaban ayahnya. Ayahnya yg sedang membaca-baca sebuah kitab seketika mengangkat kepalanya. Pria tua yg amat dihormati orang kampung dan bergelar Kiai Haji itu lalu menutup kitab tafsir Jalalaen di tangannya. "Ayah tak bisa memberi keputusan sekarang, lagi pula coba kau pikirkan kembali niatmu itu Ray." Jawab pak Kiai Haji Rahman Abdullah tak kalah tegas kepada anaknya Rayhan Kelana. "Sekolah saja kau pindah-pindah, mengorganisir demonstrasi, melawan kepala sekolah, dipecat dari sekolah, tidak lulus............dan naik gunuuung saja kerjamu !!!" damprat ayahnya dengan nada mulai meninggi. Ray menghela nafas dalam-dalam dam menunduk, terdiam kelu di ruang tamu rumahnya yg sederhana. Sedih dan marah mulai merajai hatinya. Setelah terbungkus hening beberapa saat, akhirnya Ray mengangkat kepalanya, ia lalu menatap mata ayahnya yg terlihat kecewa. "Baiklah yah, kalo begitu akan saya pikirkan kembali niat itu." Ray berucap perlahan-lahan nyaris tak terdengar.

Friday 20 August 2010

Ia lalu berjalan perlahan-lahan menuju pintu keluar di bagian depan pesawat. Di sisi pintu seorang pramugari cantik menyapanya sambil tersenyum "Sawasdee Kaa, Have a nice journeys in Thailand Sir" ujar pramugari itu seraya menangkupkan kedua belah telapak tangannya di depan dada. "Khap Koon Krub" balas si lelaki sambil tersenyum sekilas, lalu berlalu keluar menyusuri koridor menuju terminal kedatangan bandara. Dibukanya ritsleting kompartemen depan ransel kecil, dimasukkan tangannya kedalam. Sebuah kaca mata sport oakley hitam tergemnggam ditangannya, lalu dikenakannya kaca mata itu di wajahnya yg oval.
Suvarnabhumi International Airport, Bangkok. Seorang pria atletis berambut ikal gondrong sebahu, berdiri dari kursinya yg bernomor 37-A, segera setelah pesawat Thai Air yg ditumpanginya berhenti bergerak dan parkir di apron kedatangan. Ia membuka tutup penyimpanan bagasi di atas kepalanya. Menarik keluar sebuah ransel gunung karrimor ukuran 90 liter, berwarna biru. Menyandangnya di punggung dengan cepat, lalu mengeluarkan satu lagi ransel kecil karrimor yg berwarna sama birunya dengan ransel pertama. Digendongnya ransel kecil itu di depan dadanya yg bidang dan kukuh. Pria ini berusia sekitar akhir dua puluhan, atau tiga puluh awal. Blue jeans levis robek-robek membungkus kakinya yg terlihat biasa berjalan jauh. Dibagian bawah kakinya ditopang oleh sepasang sepatu gunung Scarpa coklat berbahan kulit.

Thursday 19 August 2010

SEBUAH KISAH DARI JALAN GANDEWA

Gandewa 10, Bandung, 07 Maret 1998

Hari sudah menjelang tengah malam, ruangan itu nyaris penuh sesak oleh perwakilan seluruh Himpunan Mahasiswa Jurusan. Mereka duduk dengan berbagai macam posisi membentuk setengah lingkaran, ada yg bersila, ada yg menegakkan sebelah kakinya dan ada pula yg berjongkok sambil merapatkan badan ke dinding. Di barisan depan duduk berhadapan dengan kelompok mahasiswa yg membentuk setengah lingkaran, tujuh orang mahasiswa yg bergantian berbicara tentang kondisi terakhir bangsa dan tanah air.

Ditengah ketujuh orang itu duduk bersila seorang pemuda berambut gondrong sebahu, memakai blue jeans lusuh dan kemeja flannel merah bermotif kotak-kotak yg digulung hingga lengan. Sebuah Daypack Karrimor biru teronggok dihadapannya. Umurnya 21 tahun, biasa disapa Ray oleh kawan-kawan dekatnya. Bernama lengkap Rayhan Kelana, malam itu ia menjadi pusat perhatian puluhan mahasiswa yg ada di ruangan sekretariat keluarga mahasiswa Institut Tunas Bangsa.

“Kita harus bersatu kawan-kawan !!! merapatkan barisan dan turun ke jalan !!! Tak ada pilihan lain, lihatlah rakyat di sekeliling kita, mereka sudah sengsara, harga bahan pokok naik membubung tak terbeli, harus ada aksi !!! Kita tidak bisa lagi diam di dalam kampus dan sekedar berdiskusi, berwacana !!!Demi bangsa dan tanah air kita mesti turun ke jalan, harus ada perubahan di negeri ini !!! Kelak sejarah akan mencatat bahwa perjuangan kita tidak sia-sia “

Ujar mahasiswa jurusan teknik Geologi tingkat tiga itu berapi-api. Sejenak kemudian tatapan mata lelaki muda yg menjabat sebagai ketua presidium keluarga mahasiswa Insitut Tunas Bangsa tersebut menyapu seluruh ruangan, menunggu komentar dari kawan-kawannya yg mulai kasak-kusuk berbicara kecil kiri-kanan.

“Mohon izin bicara Ray” teriak seorang pemuda tegap berambut cepak bercelana lapangan drill warna hijau pupus dan mengenakan jaket parasut tebal warna merah yg duduk di barisan depan setengah lingkaran. Namanya Parno, 22 tahun, ia adalah ketua himpunan mahasiswa jurusan teknik pertambangan Institut Tunas Bangsa. “Silakan kawan Parno” ujar Ray dengan lantang. “Saya dan kawan-kawan himpunan tambang sepakat dengan Ray, kita tidak bisa menunggu lagi, jangankan rakyat, kita sendiri terutama kawan-kawan yg indekost sudah merasakan sendiri susah beli makanan gara-gara harganya berubah-rubah terus. Pecel lele langganan saya sampe tutup kemaren karena modalnya udah ga cukup buat belanja.” Parno yang bernama lengkap Suparno Surodilogo melontarkan pendapatnya dengan penuh semangat.

“Huuuuu……………ntong mawa-mawa masalah pribadi atuh euy……….!!!” Terdengar celetukan dari barisan sebelah kiri di belakang Parno. Lalu terdengar tawa berkepanjangan dari kelompok mahasiswa yg duduk di barisan kiri belakang itu. Suasana sempat menjadi gaduh sebentar karena ternyata mereka adalah kelompok himpunan mahasiswa teknik perminyakan yg selama ini cenderung bermusuhan dengan mahasiswa tambang.

Parno spontan berdiri sambil menunjuk kearah seorang mahasiswa kurus berambut gondrong berkacamata bulat seperti yg biasa dikenakan John Lennon. Kawannya yg asli Bandung itu dibentak dengan galak oleh Parno “Ojo gitulah sampeyan Di, ini forum bebas buat mengemukakan pendapat, kalo sampeyan ga suka kita berantem aja opo diluar ???”

Beberapa mahasiswa tambang ikut berdiri disamping Parno dan mulai menatap dengan galak pada Didi Sugandi, 22 tahun, yg menjabat sebagai ketua himpunan mahasiswa jurusan perminyakan Institut Tunas Bangsa. Suasana tegang menjalari ruangan itu karena Didi tiba-tiba berdiri diikuti seluruh anak teknik perminyakan. “Gelo siah, urang ngariung kadiyeu hayang rapat ngabahas rencana aksi laen ngabejaan gelut jeung manehna……!!!” ujar Didi dengan raut wajah serius.

“Duduk kawan-kawan, silakan duduk kembali !!! cukup sudah pertengkaran tolol kalian” teriak Ray tiba-tiba dengan lantang dari depan. Semua kepala serentak berpaling ke depan menatap Ray yg mengangkat kedua belah tangannya tinggi-tinggi. “Duduk, semua duduk !!! Parno, Didi silakan tertib, bagi kawan-kawan yg lain juga, saya minta untuk tertib, kita berkumpul disini untuk merapatkan barisan bukan untuk bertengkar gara-gara hal sepele” Ray kembali berbicara dengan tegas dan keras.

Akhirnya semua yg ada diruangan itu tenang kembali, kelompok mahasiswa tambang dan perminyakan yg nyaris baku hantampun ikut duduk dengan tertib. “Terima kasih kawan-kawan, apakah ada yg mau disampaikan Di ?” Tanya Ray kepada Didi yg mengacungkan tangan kanannya setelah kembali duduk. “Sebelum forum ini dilanjutkan saya mau minta maaf ama Parno, Punteun nyak No, tadi teh cuma becanda kok !!!” Ucap Didi sambil menangkupkan kedua belah telapak tangannya mengarah pada posisi Parno duduk.

“Sampeyan tak maafken, tapi nanti abis rapat musti traktir saya pecel lele” kata Parno sambil nyengir kuda. “Oke kawan-kawan sekalian, sekali lagi terima kasih dan jangan diulang lagi yah, kita harus bersatu untuk bergerak, jangan sampai pergerakan kita jadi lemah oleh hal yg seperti barusan, sepakat ???” Ray berbicara kembali dan melontarkan pertanyaan yg dijawab dengan koor serempak oleh seluruh mahasiswa yg ada diruangan itu “Sepaakaaat……….mari kita bersatu……….turun ke jalan besok pagi !!! Hidup mahasiswa………hidup Institut Tunas Bangsa……………………………………..!!!

Teriakan-teriakan penuh semangat yg kental dengan aroma perlawanan membahana mengoyak tengah malam yg senyap di kampus Institut Tunas Bangsa.

Sementara itu diluar tersembunyi di antara rimbunan daun pepohonan besar yg menaungi kampus Institut Tunas Bangsa berdiri sesosok lelaki mengenakan jeans hitam dan kaos oblong hitam yg dilapis jaket parasut berwarna hitam pula. Ketiadaan lampu disekitar tempat ia berdiri ditambah pakaiannya yg serba hitam, membuat tak seorangpun menyadari kehadirannya. Dengan teropong kecil yg dilengkapi infra merah, ia memantau seluruh detail peristiwa yg terjadi dalam ruangan sekretariat keluarga mahasiswa Institut Tunas Bangsa.

“Sarang Rajawali, Rajawali satu ganti” Pria itu mulai berbicara perlahan melalui handy talki kecil yg tergenggam di tangan kanannya sembari terus mengarahkan teropong yg dipegang dengan tangan kiri keruangan sekretariat keluarga mahasiswa Institut Tunas Bangsa yg berjarak kira-kira lima ratus meter dari tempat ia berdiri. “Masuk Rajawali satu, Sarang menunggu” terdengar jawaban samar dari speaker handy talki yg dipegangnya.

“Pucuk mahoni sedang rimbun mungkin akan jadi daun, petunjuk dari sarang ganti” pria misterius itu melanjutkan berbicara melalui handy talki sambil sesekali mengarahkan teropongnya kelapangan parkir dan bagian luar sekretariat keluarga mahasiswa Institut Tunas Bangsa. “Berapa lembar pucuk yg ada? Tandai segera !!! cari tau waktu terjadinya daun !!!” terdengar kembali jawaban samar bernada perintah.

“Siap, rajawali akan ganti bulu dan pindah pohon !!!” Pria itu mematikan handy talki lalu menyimpannya beserta teropong kesaku lebar dibagian dalam jaket.

Ia berjalan bergegas menuju lapangan parkir sambil tetap mengawasi sekeliling dengan mata telanjang. Setibanya dilapangan parkir ia membuka pintu depan sebuah Jeep Nissan Patrol hitam, masuk kedalam dan menyalakan mesin lalu perlahan meninggalkan kampus Institut Tunas Bangsa tanpa pernah disadari kehadirannya oleh para mahasiswa yg masih berkumpul di ruangan sekretariat keluarga mahasiswa.

Di dalam ruangan sekretariat keluarga mahasiswa Institut Tunas Bangsa, rapat masih terus berlangsung.

“Besok sebelum turun ke jalan, jam 09.00 pagi kita akan mulai dengan sidang umum keluarga mahasiswa Insitut Tunas Bangsa dilapangan basket, untuk mengumpulkan massa lebih banyak saya minta ketua-ketua himpunan mahasiswa jurusan berorasi bergantian di gerbang dan mengarahkan mahasiswa yg lewat terutama dari jurusannya masing-masing ke lapangan basket untuk berkumpul. Setelah itu kita mulai ke depan gerbang dan mengatur barisan lalu longmarch ke Gedung Sate pukul 11.00, ada saran dan masukan dari kawan-kawan ???” Ray memaparkan rencana aksi dengan penuh semangat.

Seorang gadis cantik berkulit putih, berwajah oval, mengenakan kacamata minus, berambut panjang sepunggung berbisik sebentar dengan kawan di sebelahnya, lalu beberapa saat kemudian gadis yg mengenakan sweater wol merah marun bermotif bunga itu mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Namanya Dara Permata Hati, 21 tahun, ketua himpunan mahasiswa jurusan arsitektur.

“Saya mau ngasi masukan neeh Ray, boleh ga ?” ucapnya tajam sembari menatap lekat-lekat wajah Ray. “Bo…..bo…..boleh Ra, silakan” Ray menjawab dengan gagap dan tiba-tiba menjadi salah tingkah, jauh berbeda dengan sikapnya yg sebelumnya tegas dan penuh semangat.

“Saya kira orasi di gerbang kampus saja tidak cukup, kita juga harus membuat selebaran tentang rencana aksi dan menempelkannya di titik-titik strategis di seluruh kampus. Terus kita juga harus mengajak dosen-dosen yg bersedia mendukung kita untuk turut berorasi di lapangan basket dan di depan gerbang” Dara menyampaikan masukannya dengan cepat dan jelas.

Terdengar gumaman dan bisik-bisik kecil di seantero ruangan mendengar usulan Dara. “Tapi siapa yg akan bertugas mengajak dosen-dosen ? dan apakah ada jaminan dosen-dosen mau ikut aksi kita ?” seorang mahasiswa yg duduk di sebelah kanan Ray melontarkan pertanyaan menanggapi masukan dari Dara. Wajah anak muda yg rambutnya terpangkas rapi, disisir belah tepi itu menatap Dara dengan ekspresi bimbang.

Namanya Iwan Prawira, 22 tahun, kuliah di jurusan teknik fisika tingkat tiga, menjabat sebagai sekretaris presidium keluarga mahasiswa Institut Tunas Bangsa. Dari baju kemeja abu-abu dan celana panjang katun tersetrika rapi yang dikenakannya ia lebih mirip seorang dosen muda daripada seorang mahasiswa.

“Saya pikir ketua presidium keluarga mahasiswa dan jajarannya yg punya tugas untuk meyakinkan para dosen agar ikut mendukung aksi kita, tapi berhubung saya yg memberi ide, saya siap membantu Ray untuk mengajak para dosen” Dara kembali berbicara dengan cepat menjawab pertanyaan Iwan, membuat Ray yg akan berbicara mengurungkan niatnya.

Dahi Ray terlihat berkerut dalam mendengar jawaban Dara, ia mulai agak gelisah dan mengeluarkan Zippo berwarna perak bermotif kepala burung elang dari saku kecil blue jeansnya. Dari saku kiri kemeja flannelnya ia mengeluarkan sebungkus rokok Marlboro light, mencabut sebatang dan menyelipkannya di sudut bibir, lalu ia nyalakan dengan Zippo dan menghisapnya beberapa kali dengan hembusan panjang-panjang.

Kepulan asap rokok Ray menyebabkan Iwan yg duduk di sebelahnya terbatuk-batuk kecil. Ray segera sadar, “Maaf….…maaf Wan” meminta maaf kepada Iwan dan mematikan rokoknya di asbak. “Bagaimana Ray ???” Dara bertanya tidak sabar. “Iya bagaimana Ray dengan usulan Dara ???” Parno juga ikut bertanya.

“Kalau Ray tidak bersedia, tidak apa-apa, biar saya dan kawan-kawan lain yg akan berusaha mengajak para dosen kita.” Dara mengajukan penawaran melihat wajah Ray yg gelisah, karena beberapa hari sebelumnya Dara mengetahui dari teman-temannya satu jurusan bahwa Ray dipanggil menghadap oleh Dr.Ir.Johan Satyabudhi,M.Sc, sang Pembantu Rektor III bidang kemahasiswaan Institut Tunas Bangsa.

Menurut info dari teman-teman Dara, Pembantu Rektor III memperingati Ray untuk tidak mengajak mahasiswa turun ke jalan apalagi mengajak dosen turut terlibat.Dara baru menyadari konsekuensi yg akan ditanggung Ray jika mengacuhkan peringatan Pembantu Rektor III, sebab Dara memahami benar kerasnya disiplin seorang Dr.Ir.Johan Satyabudhi,M.Sc karena ia adalah putri semata wayang sang Pembantu Rektor III itu.

Kembali terdengar gumaman dan bisik-bisik diantara seluruh peserta rapat. Ray menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Lalu setelah bisa menekan rasa gelisahnya ia menegakkan punggung, menatap Dara lekat-lekat dan berbicara dengan intonasi tegas kembali

“Terimakasih Dara atas masukan dan kesediaan kamu, tapi saya sudah menerima amanah dari kawan-kawan sekalian sebagai ketua presidium dan saya harus memikul amanah itu walau apapun yg harus saya tanggung. Besok pagi saya dan beberapa orang presidium yg bersedia akan menghadap Pembantu Rektor III dan mengajak para dosen untuk mendukung aksi kita.”

Suasana menjadi hening seketika setelah Ray berbicara. “Kami semua bersedia menemani kamu Ray” nyaris serempak empat orang presidium keluarga mahasiswa Institut Tunas Bangsa menyatakan kesediaannya. “Bagaimana dengan saya ? boleh ikut ga ?” Dara bertanya kembali.

“Bagaimana kawan-kawan ?” Ray menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan meminta persetujuan anggota presidium yg lain. Semua menganggukkan kepala tanpa bicara. “Oke Dara kamu boleh ikut !!!” Ray memberi jawaban atas pertanyaan Dara.

Rapat itu akhirnya ditutup setelah mereka selesai membahas rencana aksi sampai detail. Sebagian besar mahasiswa pulang ke rumah atau kostannya masing-masing. Tapi banyak juga yg memutuskan menginap, terutama para ketua himpunan mahasiswa jurusan dan anggota presidium keluarga mahasiswa termasuk Ray.

Dara adalah termasuk yg memutuskan menginap, setelah berbicara singkat dengan beberapa teman jurusannya yg akan pulang di lapangan parkir, ia lalu kembali ke dalam ruangan dan menghampiri Ray yg masih berdiskusi di sudut ruangan dengan beberapa orang anggota presidium. “Ray, kamu sudah makan ???” Dara bertanya perlahan kepada Ray.

“Sepertinya dia belum makan tuh Ra” seru Parno dari sudut ruangan lain. “Nitip ama saya aja Ra kalau mau beliin makanan buat Ray, tapi jangan Ray aja atuh yg dibeliin, barudak nu laenna kumaha ???” celetuk Didi yg berencana pergi membeli makanan. Dara akhirnya menyerahkan dua lembar limapuluh ribuan kepada Didi buat beli makanan bagi semua. “Sekalian atuh urang minjem mobilna euy” ujar Didi lagi. Tanpa menjawab Dara menyerahkan kunci mobil dan STNK kepada Didi.

Didi lalu menepuk pundak Ray, “Urang pamit heula nyak, maneh hayang naon teh ? pecel lele siga si Parno atau nasi goreng ?” Ray menatap Didi yg berdiri agak setengah membungkuk “Beli nasi goreng aja biar bisa dimakan rame-rame Di”. Didi mengangkat tangan kanannya ke pelipis “Siap Pak Ketua !!!”. Ketika Didi melewati pintu sekretariat, Parno berteriak “jangan lupa pecel lele siji yo Di !!!” Didi berlalu dengan beberapa orang kawannya yg lain sambil mengacungkan jempol kearah Parno.

Di persimpangan jalan Ganesha menuju jalan Taman Sari sebuah gerobak nasi goreng mangkal menunggu pembeli, nyala lampu petromaks menerangi gerobak.

Didi dan tiga orang kawannya menepi disamping gerobak nasi goreng. Lalu keluar dari mobil sedan Toyota Corolla yg dipinjam dari Dara. “Kang bungkus nasi gorengna tilu puluh” pinta Didi ke penjual nasi goreng. “Punteun sep, sakedeung nyak, mangga calik heula” Tukang nasi goreng mempersilakan Didi dan kawan-kawan duduk di bangku panjang dari kayu.

Sambil mulai mempersiapkan wajan berisi minyak goreng dan meracik bumbu-bumbu, tukang nasi goreng yg kepalanya tertutup topi lebar dari anyaman bambu bertanya pada Didi “kuliah timana sep ?”. “Ti Institut Tunas Bangsa kang” jawab Didi. Lalu si tukang nasi goreng mulai bercerita tentang harga bahan pokok yg makin melambung dan susahnya jadi rakyat kecil.

Tanpa bisa dicegah oleh Didi, seorang temannya dengan polosnya bercerita soal rencana aksi turun ke jalan kepada tukang nasi goreng berikut detail aksi.

Sambil tetap mengaduk nasi gorengnya ia menanyakan apakah mereka akan menginap di kampus karena membeli nasi goreng begitu banyak. Dan diiyakan oleh teman Didi. Begitu nasi goreng sudah selesai dibungkus, Didi lalu membayarnya dan kembali menaiki mobil untuk mencari pecel lele pesanan Parno.

Tak berapa lama kemudian setelah Didi dan kawan-kawannya pergi, tukang nasi goreng merogoh sesuatu dari dalam laci kecil yg tersembunyi di bawah termos nasinya.

Ternyata benda itu sebuah handy talki. “Sarang Rajawali, Rajawali Satu ganti” Ia memanggil melalui handy talkinya sambil mengawasi jalanan sekeliling. “Lanjutkan Rajawali Satu” terdengar jawaban dari speaker handy talkinya. “Pucuk mahoni sebagian bermalam menunggu pagi, daun akan kembang di dalam jam 09.00, di luar jam 11.00, daun akan terbang ke rumah satu, ganti” ia melanjutkan laporannya.

“Ikuti daun, ambil gambar pucuk mahoni, sarang akan kirim sekumpulan Rajawali besok pagi, Rajawali satu usahakan berada di pohon semula dan ganti bulu”. “Siap, kerjakan !!!” Tukang nasi goreng mematikan handy talki dan memasukkannya kembali ke dalam laci dibawah termos nasi. Ia lalu bergegas merapikan bangku dan mendorong gerobaknya ke arah jalan Taman Sari.

Gandewa 10, Bandung, 08 Maret 1998.

Sejak pukul 06.00 pagi para mahasiswa yg menginap di sekretariat keluarga mahasiswa Institut Tunas Bangsa sudah bersiap-siap. Sesuai rencana hasil rapat, hari ini mereka akan melakukan aksi turun ke jalan. Parno yg kebagian tugas sebagai koordinator keamanan aksi sudah mulai membriefing dua puluh orang anggotanya.

Sambil menikmati pisang goreng dan kopi panas ia menjelaskan strategi pengamanan aksi kepada anggotanya. Lalu dibagikannya potongan pita merah putih yg harus dikenakan di bahu jaket almamater sebelah kiri oleh seluruh anggota tim keamanan sebagai tanda identifikasi khusus.

Di sudut ruangan Ray juga terlihat sedang memberi pengarahan akhir kepada beberapa orang anggota presidium keluarga mahasiswa yg akan menghadap Pembantu Rektor III serta mengajak para dosen untuk bergabung dengan aksi mereka.

Dara yg baru selesai mandi langsung bergabung disitu, bau wangi yg menyeruak dari tubuhnya, membuat Ray menatap Dara yg langsung menundukkan kepala sambil berpura-pura memperbaiki tali casio baby-G ditangannya.

Iwan datang menghampiri Ray dan menyerahkan setumpuk kertas yg baru diprint “Tolong dibaca ulang Ray, dan sekalian ditanda tangani kalau sudah oke, biar bisa difotocopy” Ray membaca dengan cermat baris demi baris pers release aksi itu lalu mengedarkannya ke seluruh anggota presidium yg duduk bersamanya.

“Kalau ada koreksi dan tambahan, silakan kawan-kawan” ujar Ray. Semua mengangguk setuju setelah membaca bergantian dan mengembalikan pers release itu pada Ray untuk di tanda tangani. Kemudian menyerahkannya kembali pada Iwan yg langsung menanda tangani juga dan meminta tolong kepada seorang kawan yg bertugas sebagai humas untuk memfoto copynya.

Monday 16 August 2010

"Yeah sure............." jawab si pelayan cantik sambil mengambil sebatang rokok dan menyelipkan di bibirnya yg merah delima. Lelaki bermata elang itu juga melakukan hal yg sama. Dikeluarkannya sebuah zippo berwarna perak bercorak kepala burung elang dari saku kanan celana. Terdengar dentingan halus dan tajam ketika ia menyalakan rokok si pelayan cantik. "Thank you" ujar si pelayan cantik. "You are welcome Miss" jawab lelaki itu, lalu ia menyalakan rokoknya sendiri. Mereka sama-sama menghisap dalam-dalam rokok masing-masing, sembari saling bertatapan. "My name is Jane, Jeanny Crawford" ucap si pelayan cantik mengangsurkan tangan kanannya ke depan. "Ray.......Rayhan Kelana" jawab lelaki itu sambil menggengam telapak tangan halus Jane.

Friday 13 August 2010

"Do you mind if i sit here?" tanya si cantik bermata biru sembari menunjuk kursi di seberang lelaki bermata elang itu. "Yes, sure........its ok!" jawabnya sembari memasukkan notes ke dalam ransel samsonite hitam yg ia raih dari bawah meja.
Pelayan itu menarik kursi dan mendaratkan pinggulnya yg bulat dengan santai. Lalu ia melipat tangannya di atas meja menunggu si lelaki bermata elang yg sedang mereguk cappuccinonya. Tak lama kemudian lelaki itu mengeluarkan sebungkus marlboro light dari saku kemeja flannel bermotif garis kotak-kotak yg ia kenakan. Dicabutnya sebatang dan diangsurkan kotak ke si pelayan "Do you smoke ?"

Saturday 7 August 2010

Lima belas menit kemudian, si pelayan cantik bermata biru menghampiri meja si lelaki bermata elang sambil membawa nampan berisi pesanan. "Hallo handsome, this is you cappuccino and cinnammon roll" ujarnya sambil meletakkan nampan diatas meja. Lelaki itu buru-buru menutup notesnya, "Thank you very much Miss" Bold
Lelaki itu meregangkan sedikit tubuhnya yg terasa letih. Ia baru saja mendarat di kota itu setelah menempuh penerbangan panjang selama tujuh belas jam. Diangkatnya tangan kanan setinggi mata, diperhatikannya dengan cermat luminox chronoghraph yg melingkar ditangannya yg terlihat berotot. Ia menggeleng, menyipitkan mata yg silau oleh sinar matahari. Lelaki itu kemudian melepas jaket levis corduroy coklat yg ia pakai, dan menaruhnya di kursi sebelah. Ia lalu merogoh saku levis 501 nya, mengeluarkan buku notes kecil dan mulai menulis sesuatu.
Matahari sudah mulai meninggi, sinarnya mulai menyilaukan mata laki-laki itu. Mata setajam mata elang yg menyapu setiap orang yg lalu lalang di jalan depan cafe tempat ia duduk. Diliriknya sekilas daftar menu ditangan kirinya. Lalu ia melambaikan tangan ke arah dalam cafe. Seorang pelayan bertubuh tinggi semampai, berdada montok, dengan rambut pirang panjang tergerai dan bermata biru bergegas menghampiri mejanya. "Good Morning Sir ! Do you want to order something? " tanya si pelayan sambil menyunggingkan senyum manis. Laki-laki itu menatap dalam pada si pelayan cantik yg mengenakan blue jeans dan t-shirt ketat yg sedikit memamerkan belahan dadanya yg mulus. "Yeah.....I needs one cappuccino and one cinammon roll please...............!" ia menyebutkan pesanan tanpa melepaskan tatapan sedetikpun pada si pelayan cantik. "Thats all ? anything else ?" tanya si cantik dengan senyum yg makin menggoda. "For now, thats all i needs" laki-laki bermata elang itu menjawab tanpa perubahan ekspresi di wajahnya. "Okay, your cappucino will be here soon" si cantik menutup buku catatan pesanan lalu berlalu ke dalam cafe.